Rabu, 20 Januari 2021

Nania

Ia adalah Nania. Usianya tidak terpaut jauh dariku, hanya beda beberapa bulan saja. Kami sama-sama satu sekolah dan satu angkatan di suatu pondok pesantren modern di Kuningan. Ia juga sepupuku yang tinggalnya beda kota denganku, sepupu dari nasab bapak. Allahu Yarham. 


Enam tahun kami bersama-sama di pesantren, menjadikan kami cukup terbuka tentang kehidupan masing-masing. Walaupun bagiku yang agak introvert ini, tidak ada yang bisa membuatku bercerita dengan terbuka, kecuali jika bercerita dengan adik-adik kandungku dan suamiku untuk saat ini. 


Nania, dalam kehidupannya ia tidak pernah kekurangan. Ayah dan ibunya adalah mantan tenaga kerja di luar negeri yang terbilang sukses. Kemudian, setelah habis kontraknya di sana, mereka kembali ke tanah air dan membuat toko sembako dan pakaian. Dengan tokonya itu, penghasilan mereka sangat cukup bahkan bisa dibilang berlebih jika dibandingkan keluarga kami waktu itu. Sehingga ia bisa masuk di pesantren itu,  mudah saja baginya dalam hal keuangan. 


Berbeda denganku, aku bisa masuk ke pesantren yang cukup mewah pada zamannya, bahkan sampai saat ini pun bukan karena berlebih, tetapi karena keinginan yang dalam dari orangtua agar anak-anaknya bisa lebih baik dari kedua orangtuanya. Begitulah ayah dan ibu kami menasihati, agar kami belajar bersungguh-sungguh di pesantren itu. 


Enam tahun berlalu, kami terpisah dengan kehidupan masing-masing. Setelah lulus, ia mengikuti keinginan orangtuanya untuk menikah dengan tetangganya, yang merupakan bos pakaian yang sukses di pulau seberang. Walaupun sebenarnya ia ingin melanjutkan kuliah, tetapi apa daya, pada akhirnya ia ikut dengan suaminya dan sukses di sana. Segera saja terdengar, kalau ia sudah memiliki segalanya di usia muda. 


Sedangkan aku? Aku masih jauh dari kata sukses. Aku bahkan masih jauh menuju mahligai pernikahan waktu itu. Sehingga, semua kebutuhan masih ditanggung oleh orangtua. Jika Idul Fitri tiba, aku dan adik-adikku akan dengan senang hati akan menerima angpao yang cukup lumayan dari sepupuku itu. 


Begitulah beberapa tahun pun berlalu. Sampai kehendak Allah terjadi, pamanku meninggal dunia saat panggilan ibadah haji beberapa bulan lagi menghampirinya.


Kematian paman telah banyak membawa perubahan pada keluarga Nania. Sebagai anak satu-satunya yang sudah menikah, ia dengan suaminya pulang ke tanah kelahirannya dari merantau untuk menemani bibi yang sangat berduka. Rumah beserta kekayaan lain di tanah rantau dijual tak tersisa. 


Sejak saat itu, ia pun mulai membangun dan merintis bisnis di kotanya. Beberapa usaha ia coba jalankan, namun entah mengapa roda perekonomian Nania mulai menurun dan terus mengalami penurunan. Sampai modal untuk usahanya pun tak tersisa, tergerus untuk biaya kehidupan sehari-harinya dengan 3 anak yang semuanya sudah bersekolah. 


Ternyata tidak hanya Nania yang roda perekonomiannya berubah, bibi pun tokonya turun drastis. Kehidupan yang tidak mudah harus dijalani bibi dan Nania, mungkin sampai saat ini. Bahkan kalau dibilang, Alhamdulillah kehidupan kami tak lebih buruk dari mereka sekarang ini. 


Di tengah kemelut hidup yang menggelayutinya. Aku melihat Nania adalah sosok yang sangat tegar dalam menjalani hidupnya yang tidak mudah itu. Sebisa mungkin ia bergerak membantu usaha suaminya yang tak bisa dikatakan beruntung. Ia juga dengan sekuat tenaga, membantu kehidupan perekonomian bibi dan mungkin adik-adiknya yang juga masih bersekolah. 


Usaha terbaru yang dia jalani adalah warung nasi uduk untuk sarapan dan minumannya. Karena warungnya buka pagi, maka ia harus mempersiapkannya sejak dini hari. Semua itu ia jalani dengan ikhlas. Setiap bertemu dengannya, ia menceritakan semuanya sebagai pembelajaran hidup katanya. Hidup itu ada saatnya naik ataupun turun, kita harus siap dan ikhlas menjalaninya apapun itu. 


Terakhir bertemu lebaran tahun kemarin. Aku agak kaget bertemu dengannya dikarenakan wajahnya yang dulu mulus, kini kurang terawat berjerawat. Ia bercerita, katanya selama tiga hari bertemankan teriknya matahari dalam dalam keadaan berpuasa. Ia dan bibi panen di sawahnya yang masih dimilikinya. Aku yang medengarnya , berkaca-kaca. Tetapi, ia tetap tersenyum dalam ketegarannya. Entah sampai kapan keadaan akan memaksanya berjuang lebih. Do'aku terselip untuknya. 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar