![]() |
-Tamat- |
Pilihan Madina (Bagian 4 - Tamat)
Hari-hari berlalu dengan lebih ramai daripada sebelumnya. Biru masih menjadi Biru yang jahil dan penuh percaya diri, sementara Madina masih menjadi Madina yang pura-pura kesal setiap kali digoda. Namun, ada sesuatu yang berbeda sekarang. Setiap kali Biru menggodanya, Madina tidak lagi merasa terganggu. Justru, ada perasaan aneh yang ia sendiri tak bisa jelaskan.
Di sisi lain, Laut semakin menjaga jarak. Sejak pesan terakhirnya di daftar absen perpustakaan, ia tak lagi meninggalkan catatan untuk Madina. Mereka masih bertemu di kampus, masih sesekali bertukar sapa, tapi Madina tahu, ada sesuatu yang berubah.
Suatu sore, Madina duduk di taman kampus, menikmati udara sejuk sambil membaca buku. Tanpa ia sadari, seseorang duduk di sampingnya.
"Lagi baca apa?"
Madina menoleh. Laut.
Ia tersenyum kecil. "Novel. Butuh sesuatu?"
Laut menggeleng. "Cuma mau ngobrol sebentar."
Madina menutup bukunya. "Tentang apa?"
Laut terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Biru menang, ya?"
Madina tersentak. Ia menatap Laut, lalu menunduk. "Aku nggak pernah menganggap ini sebagai sebuah kompetisi."
Laut tersenyum tipis. "Aku tahu. Tapi aku juga tahu kakak sudah membuat pilihan."
Madina mengangguk pelan. "Maaf, Laut…"
Laut menghela napas, lalu tersenyum. "Nggak apa-apa. Aku senang bisa jadi bagian dari cerita ini, seperti yang kakak bilang di catatan terakhir kita."
Madina menatap Laut dalam-dalam. Ada sedikit rasa sedih, tapi juga lega. Laut adalah seseorang yang baik, seseorang yang Madina hormati. Ia berharap Laut akan menemukan seseorang yang lebih tepat untuknya.
"Kita tetap teman?" tanya Madina.
Laut tersenyum. "Tentu saja."
Dan dengan itu, sebuah bab dalam hidup Madina selesai.
---
Malam itu, hujan turun deras. Madina masih berada di kampus, menyelesaikan tugas kelompok di ruang diskusi perpustakaan. Ia tahu ia harus segera pulang, tapi hujan yang begitu deras membuatnya ragu untuk berlari ke asrama.
Saat ia berdiri di depan pintu perpustakaan, menunggu hujan reda, tiba-tiba sebuah payung merah muncul di atas kepalanya.
Madina menoleh dan mendapati Biru berdiri di sampingnya, dengan senyum khasnya yang penuh percaya diri.
"Kak Madina nggak bawa payung, kan?" tanyanya dengan nada santai, seolah ini adalah hal biasa.
Madina menatapnya curiga. "Kamu dari mana?"
Biru menggaruk kepalanya. "Dari kantin. Terus aku kepikiran… kira-kira Kak Madina udah pulang atau belum."
Madina mengerjapkan mata. "Kamu nunggu di sini?"
Biru hanya tersenyum. "Kalau nggak, siapa lagi yang bakal jagain kakak?"
Madina terdiam. Ada sesuatu di dadanya yang tiba-tiba terasa hangat.
Tanpa berkata apa-apa lagi, ia berjalan di bawah payung yang Biru pegang. Mereka menyusuri jalan menuju asrama putri, hanya suara rintik hujan yang menemani.
"Aku heran, Bir," kata Madina akhirnya.
"Hm?"
"Kamu ini ada banyak tugas, kan? Ada banyak hal yang bisa kamu lakukan selain gangguin aku. Kenapa sih?"
Biru tertawa kecil. "Karena aku suka, Kak."
Madina mendelik. "Itu aja alasannya?"
"Ya." Biru menoleh ke arahnya, lalu menambahkan, "Dan karena aku tahu kakak juga suka sama aku."
Madina langsung berhenti melangkah. Ia menatap Biru dengan alis terangkat. "Siapa bilang?"
Biru mengangkat bahu, lalu memasukkan satu tangannya ke saku jaketnya. "Nggak perlu ada yang bilang. Aku bisa lihat."
Madina mendecak, tapi tidak bisa menahan senyumnya.
Mereka kembali berjalan, dan akhirnya sampai di depan gerbang asrama.
Biru menatap Madina dengan ekspresi yang lebih serius kali ini. "Udah berapa persen sekarang?" tanyanya, masih dengan nada bercanda, tapi matanya penuh harapan.
Madina menatap Biru lama. Kali ini, ia tidak akan menghindar.
"Seratus."
Biru terdiam. Sepertinya ia tidak menyangka Madina akan menjawabnya dengan jelas.
Lalu, perlahan-lahan, senyuman lebar muncul di wajahnya. "Serius, Kak?"
Madina mengangguk. "Serius."
Biru menghela napas panjang, lalu tertawa kecil. "Akhirnya perjuanganku nggak sia-sia."
Madina ikut tertawa. "Iya. Tapi jangan nyebelin lagi ya?"
Biru mengedipkan mata. "Nggak janji."
Madina hanya bisa menggeleng, tapi kali ini, ia tidak merasa kesal. Karena sekarang, ia tahu—Biru memang selalu seperti itu. Menyebalkan, jahil, tapi juga seseorang yang tak bisa diabaikan.
Dan ia tidak ingin mengabaikannya lagi.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar