Sabtu, 08 Maret 2025

Pilihan Madina 2

Bagian 2


Bagian 2

Hari-hari berikutnya, Biru semakin intens mengganggu Madina. Setiap kali bertemu di lorong kampus, kantin, atau bahkan saat Madina sedang serius di perpustakaan, pasti ada saja ulahnya.  

"Hai sayang, pagi-pagi udah cantik aja," bisik Biru saat melewati Madina di depan gedung kuliah.  

Madina mendelik. "Kurang kerjaan ya, Bir?"

Biru hanya tertawa dan melangkah pergi, meninggalkan Madina yang pura-pura kesal, padahal dalam hati ada sesuatu yang hangat menggelitik.  

Di sisi lain, Laut tetap dengan pendekatannya yang lebih kalem dan misterius. Percakapan mereka di pinggir daftar absen di perpustakaan semakin berkembang. Laut mulai meninggalkan teka-teki kecil yang harus Madina pecahkan.  

"Kalau aku mau nanya langsung ke Kak Madina tanpa lewat catatan, boleh nggak?" tulis Laut suatu hari.  

Madina tersenyum kecil, lalu membalas di samping namanya.  

"Boleh, tapi harus pakai kode rahasia."

Esoknya, Laut datang dan berbisik pelan saat duduk di samping Madina. "Kode rahasianya apa?"

Madina menahan tawa. Ia menikmati obrolan mereka, yang terasa tenang dan penuh makna.  

Namun, di luar ketenangan itu, Biru masih saja menjadi gangguan yang tak terhindarkan.  

Suatu hari, saat Madina pulang kuliah, ia mendapati selembar kertas terselip di antara bukunya. Tulisannya jelas, khas gaya jahil Biru.  

"Kak, kalau aku ada di hati kakak 10%, Laut ada berapa persen?"

Madina mendengus geli. Tanpa berpikir panjang, ia membalas di bawahnya.  

"0%. Karena belum ada yang masuk ke hati aku."

Keesokan harinya, Biru kembali dengan ekspresi dibuat-buat sedih. "Kak Madina kejam banget, aku baru 10%?"

Madina tak bisa menahan tawa. Tapi sebelum ia bisa menjawab, Laut muncul dan menatap Biru dengan tatapan santai. "Setidaknya 10% lebih besar dari nol."

Biru mendengus. "Tapi aku punya strategi buat nambah persentase. Kak Madina, tunggu aja!"  

Madina hanya bisa menggeleng. Dua anak semester satu ini benar-benar tak ada habisnya. 

Namun, hari demi hari berlalu, dan perlahan-lahan, tanpa Madina sadari, Biru memang berhasil menambah persentase itu.  

Bukan dengan catatan manis seperti Laut. Bukan dengan sikap tenang dan penuh teka-teki. Tapi dengan caranya sendiri—dengan tawa, dengan keisengan yang selalu bisa membuat Madina kesal sekaligus tersenyum.  

Dan pada suatu sore, saat Madina berdiri di depan asrama putra menunggu temannya, tiba-tiba Biru muncul dengan jaket lusuh dan senyum khasnya.  

"Kak, kalau aku udah 50%, kakak bakal mulai mikirin aku nggak?"

Madina menatap Biru lama. Untuk pertama kalinya, ia tidak bisa menjawab.  

Karena kenyataannya, Biru sudah lebih dari 50%.  

***

Madina mulai merasa ada yang berbeda. Setiap kali Biru muncul dengan senyum jahilnya, setiap kali pesan-pesan isengnya masuk ke WhatsApp, jantungnya berdegup sedikit lebih kencang. Ia tak mau mengakuinya, tapi Biru memang berhasil mencuri perhatiannya—meski dengan cara yang paling menyebalkan.

Di sisi lain, Laut masih setia dengan cara pendekatannya yang tenang dan misterius. Namun, ada sesuatu yang berubah sejak Laut mengetahui bahwa Biru juga menyukai Madina.

Suatu hari di perpustakaan, saat Madina sedang fokus membaca, Laut duduk di sebelahnya dan berbisik pelan, "Kak, kalau boleh tahu… kenapa kakak masih terus membalas catatan Biru, meskipun dia sering gangguin kakak?"

Madina tersentak. Laut jarang bertanya hal yang langsung menusuk seperti ini. Biasanya, ia hanya meninggalkan pesan-pesan samar yang butuh ditebak.

Ia menutup bukunya, lalu menatap Laut. "Mungkin karena aku nggak pernah benar-benar keberatan?"

Jawaban itu keluar begitu saja. Dan saat ia mengatakannya, Madina sadar—itulah perasaannya sebenarnya.

Laut terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. "Aku tahu Biru orang yang menyebalkan. Tapi dia memang tahu caranya membuat orang nggak bisa mengabaikannya."

Madina tertawa kecil. "Kamu juga nggak bisa diabaikan, Laut."

Laut tersenyum lagi, tapi kali ini ada sesuatu di matanya—sesuatu yang Madina belum bisa pahami.

***

Beberapa hari setelah percakapan itu, Biru kembali dengan kejahilannya.

Di kantin kampus, saat Madina sedang antre membeli makan, tiba-tiba seseorang berbisik di belakangnya.

"Hai sayang, pesan apa hari ini?"

Madina hampir menjatuhkan dompetnya. Ia menoleh cepat dan mendapati Biru dengan senyum penuh kemenangan.

"Biru!"

Biru hanya tertawa, lalu dengan santai menambahkan pesanan yang sama dengan Madina kepada penjual. "Kalau makanannya sama, mungkin perasaan kita juga bisa sama, ya?"

Madina melotot. "Dasar sok puitis!"

Biru mengangkat bahu. "Namanya juga usaha. Udah berapa persen sekarang?"

Madina berpikir sejenak, lalu tersenyum tipis. "Rahasia."

Biru mendesah dramatis. "Ah, ini sih pasti udah di atas 70%."

Madina tidak menjawab. Tapi jauh di dalam hatinya, ia tahu… mungkin Biru benar.

Dan Laut? Ia tetap ada di sana, diam, memperhatikan. Hingga suatu hari, di daftar absen perpustakaan, Madina membaca catatan terakhir dari Laut.

"Kalau hati kakak sudah memilih, aku akan berhenti bertanya."

Madina terdiam lama sebelum akhirnya menulis balasan.

"Terima kasih sudah menjadi bagian dari kisah ini."

Ketika ia menutup daftar absen, perasaannya campur aduk. Namun, di luar perpustakaan, Biru sudah menunggu dengan senyum khasnya.

"Kak Madina, mau ke kantin? Aku traktir, tapi dengan satu syarat."

Madina mengangkat alis. "Apa?"

Biru mendekat, menatapnya dengan mata penuh keyakinan. "Setelah ini, kakak harus kasih tahu berapa persennya."

Madina tersenyum kecil, lalu berjalan mendahului Biru.

Ia tidak perlu menjawab. Karena mereka berdua sudah tahu jawabannya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar