Selasa, 18 Maret 2025

Ramadan dan Ketenangan Hati Ibu

 đźŚż Ramadan dan Ketenangan Hati Ibu 🌿

Menjadi seorang ibu di bulan Ramadan adalah anugerah sekaligus ujian. Di satu sisi, kita ingin memanfaatkan bulan penuh berkah ini untuk mendekatkan diri kepada Allah, meningkatkan ibadah, dan memperbaiki diri. Namun, di sisi lain, ada tanggung jawab yang tetap harus dijalankan: menyiapkan sahur dan berbuka, mengurus anak-anak yang mungkin sedang belajar berpuasa, menyelesaikan pekerjaan rumah, hingga menahan emosi di tengah kelelahan.

Wahai ibu, jika Ramadan terasa melelahkan, ingatlah bahwa Allah tidak membebani seseorang melebihi kemampuannya. Terkadang, kita terlalu menuntut diri untuk menjadi ibu yang sempurna—memasak hidangan terbaik, menjaga rumah tetap rapi, mendampingi anak dengan sabar, dan tetap menjalankan ibadah dengan sempurna. Namun, kesempurnaan bukanlah tujuan kita. Yang lebih penting adalah bagaimana kita menjalani semua ini dengan hati yang tenang dan penuh keikhlasan.

đź’ˇ Ramadan adalah Waktu untuk Melatih Kesabaran

Dalam Islam, kesabaran adalah salah satu akhlak yang paling tinggi nilainya. Allah berfirman:

"Dan bersabarlah, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS. Al-Anfal: 46)

Sabar bukan hanya berarti menahan amarah, tetapi juga bersabar dalam menghadapi keadaan yang tidak sesuai harapan, sabar dalam menjalani rutinitas yang melelahkan, dan sabar dalam merawat diri sendiri. Ramadan mengajarkan kita untuk memperlambat langkah, menikmati setiap momen, dan tidak terburu-buru dalam segala hal.

Sebagai ibu, sering kali kita merasa harus mendahulukan kepentingan keluarga dan mengesampingkan diri sendiri. Namun, jika hati kita penuh tekanan, anak-anak pun akan merasakannya. Maka, menjaga kesehatan mental selama Ramadan juga bagian dari ibadah.

✨ Tips Menjaga Ketenangan Hati Ibu di Ramadan

Lakukan ibadah dengan cara yang paling nyaman – Jika sulit untuk membaca Al-Qur’an dalam waktu lama, dengarkan murottal saat memasak atau menyusui anak. Jika tidak bisa shalat malam, perbanyak doa setelah shalat wajib.

Sederhanakan tugas harian – Tidak perlu memasak menu berbuka yang mewah setiap hari. Buat jadwal sederhana agar tidak kelelahan.

Ambil waktu untuk diri sendiri – Luangkan beberapa menit setelah shalat untuk duduk tenang, menarik napas, dan berzikir. Ini akan membantu menenangkan hati dan pikiran.

Kelola ekspektasi – Tidak apa-apa jika rumah tidak selalu rapi, jika anak rewel, atau jika ibadah terasa kurang maksimal. Allah melihat usaha kita, bukan hasil akhirnya.

Jangan ragu meminta bantuan – Minta dukungan dari suami atau anak-anak agar pekerjaan rumah lebih ringan.

🌷 Ramadan Ini, Beri Cinta Juga untuk Dirimu

Ibu, engkau berharga di mata Allah. Setiap langkahmu dalam mengurus keluarga adalah ibadah. Jangan merasa gagal jika ada hari-hari yang terasa sulit. Yang penting adalah tetap berusaha, tetap berdoa, dan tetap menjaga hati agar tetap tenang dan ikhlas.

Semoga Ramadan ini menjadi waktu terbaik untuk kita belajar sabar, bersyukur, dan lebih mencintai diri sendiri. 🤍✨


Minggu, 09 Maret 2025

Pilihan Madina End

-Tamat-


Pilihan Madina (Bagian 4 - Tamat)

Hari-hari berlalu dengan lebih ramai daripada sebelumnya. Biru masih menjadi Biru yang jahil dan penuh percaya diri, sementara Madina masih menjadi Madina yang pura-pura kesal setiap kali digoda. Namun, ada sesuatu yang berbeda sekarang. Setiap kali Biru menggodanya, Madina tidak lagi merasa terganggu. Justru, ada perasaan aneh yang ia sendiri tak bisa jelaskan.  

Di sisi lain, Laut semakin menjaga jarak. Sejak pesan terakhirnya di daftar absen perpustakaan, ia tak lagi meninggalkan catatan untuk Madina. Mereka masih bertemu di kampus, masih sesekali bertukar sapa, tapi Madina tahu, ada sesuatu yang berubah.  

Suatu sore, Madina duduk di taman kampus, menikmati udara sejuk sambil membaca buku. Tanpa ia sadari, seseorang duduk di sampingnya.  

"Lagi baca apa?"  

Madina menoleh. Laut.  

Ia tersenyum kecil. "Novel. Butuh sesuatu?"  

Laut menggeleng. "Cuma mau ngobrol sebentar."  

Madina menutup bukunya. "Tentang apa?"  

Laut terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Biru menang, ya?"  

Madina tersentak. Ia menatap Laut, lalu menunduk. "Aku nggak pernah menganggap ini sebagai sebuah kompetisi."  

Laut tersenyum tipis. "Aku tahu. Tapi aku juga tahu kakak sudah membuat pilihan."  

Madina mengangguk pelan. "Maaf, Laut…"  

Laut menghela napas, lalu tersenyum. "Nggak apa-apa. Aku senang bisa jadi bagian dari cerita ini, seperti yang kakak bilang di catatan terakhir kita."  

Madina menatap Laut dalam-dalam. Ada sedikit rasa sedih, tapi juga lega. Laut adalah seseorang yang baik, seseorang yang Madina hormati. Ia berharap Laut akan menemukan seseorang yang lebih tepat untuknya.  

"Kita tetap teman?" tanya Madina.  

Laut tersenyum. "Tentu saja."  

Dan dengan itu, sebuah bab dalam hidup Madina selesai. 

---  

Malam itu, hujan turun deras. Madina masih berada di kampus, menyelesaikan tugas kelompok di ruang diskusi perpustakaan. Ia tahu ia harus segera pulang, tapi hujan yang begitu deras membuatnya ragu untuk berlari ke asrama.  

Saat ia berdiri di depan pintu perpustakaan, menunggu hujan reda, tiba-tiba sebuah payung merah muncul di atas kepalanya.  

Madina menoleh dan mendapati Biru berdiri di sampingnya, dengan senyum khasnya yang penuh percaya diri.  

"Kak Madina nggak bawa payung, kan?" tanyanya dengan nada santai, seolah ini adalah hal biasa.  

Madina menatapnya curiga. "Kamu dari mana?"  

Biru menggaruk kepalanya. "Dari kantin. Terus aku kepikiran… kira-kira Kak Madina udah pulang atau belum."  

Madina mengerjapkan mata. "Kamu nunggu di sini?"  

Biru hanya tersenyum. "Kalau nggak, siapa lagi yang bakal jagain kakak?"  

Madina terdiam. Ada sesuatu di dadanya yang tiba-tiba terasa hangat.  

Tanpa berkata apa-apa lagi, ia berjalan di bawah payung yang Biru pegang. Mereka menyusuri jalan menuju asrama putri, hanya suara rintik hujan yang menemani.  

"Aku heran, Bir," kata Madina akhirnya.  

"Hm?"  

"Kamu ini ada banyak tugas, kan? Ada banyak hal yang bisa kamu lakukan selain gangguin aku. Kenapa sih?"  

Biru tertawa kecil. "Karena aku suka, Kak."  

Madina mendelik. "Itu aja alasannya?"  

"Ya." Biru menoleh ke arahnya, lalu menambahkan, "Dan karena aku tahu kakak juga suka sama aku."  

Madina langsung berhenti melangkah. Ia menatap Biru dengan alis terangkat. "Siapa bilang?"  

Biru mengangkat bahu, lalu memasukkan satu tangannya ke saku jaketnya. "Nggak perlu ada yang bilang. Aku bisa lihat."  

Madina mendecak, tapi tidak bisa menahan senyumnya.  

Mereka kembali berjalan, dan akhirnya sampai di depan gerbang asrama.  

Biru menatap Madina dengan ekspresi yang lebih serius kali ini. "Udah berapa persen sekarang?" tanyanya, masih dengan nada bercanda, tapi matanya penuh harapan.  

Madina menatap Biru lama. Kali ini, ia tidak akan menghindar.  

"Seratus."  

Biru terdiam. Sepertinya ia tidak menyangka Madina akan menjawabnya dengan jelas.  

Lalu, perlahan-lahan, senyuman lebar muncul di wajahnya. "Serius, Kak?"  

Madina mengangguk. "Serius."  

Biru menghela napas panjang, lalu tertawa kecil. "Akhirnya perjuanganku nggak sia-sia."  

Madina ikut tertawa. "Iya. Tapi jangan nyebelin lagi ya?"  

Biru mengedipkan mata. "Nggak janji."  

Madina hanya bisa menggeleng, tapi kali ini, ia tidak merasa kesal. Karena sekarang, ia tahu—Biru memang selalu seperti itu. Menyebalkan, jahil, tapi juga seseorang yang tak bisa diabaikan.  

Dan ia tidak ingin mengabaikannya lagi.  

TAMAT


Sabtu, 08 Maret 2025

Pilihan Madina 2

Bagian 2


Bagian 2

Hari-hari berikutnya, Biru semakin intens mengganggu Madina. Setiap kali bertemu di lorong kampus, kantin, atau bahkan saat Madina sedang serius di perpustakaan, pasti ada saja ulahnya.  

"Hai sayang, pagi-pagi udah cantik aja," bisik Biru saat melewati Madina di depan gedung kuliah.  

Madina mendelik. "Kurang kerjaan ya, Bir?"

Biru hanya tertawa dan melangkah pergi, meninggalkan Madina yang pura-pura kesal, padahal dalam hati ada sesuatu yang hangat menggelitik.  

Di sisi lain, Laut tetap dengan pendekatannya yang lebih kalem dan misterius. Percakapan mereka di pinggir daftar absen di perpustakaan semakin berkembang. Laut mulai meninggalkan teka-teki kecil yang harus Madina pecahkan.  

"Kalau aku mau nanya langsung ke Kak Madina tanpa lewat catatan, boleh nggak?" tulis Laut suatu hari.  

Madina tersenyum kecil, lalu membalas di samping namanya.  

"Boleh, tapi harus pakai kode rahasia."

Esoknya, Laut datang dan berbisik pelan saat duduk di samping Madina. "Kode rahasianya apa?"

Madina menahan tawa. Ia menikmati obrolan mereka, yang terasa tenang dan penuh makna.  

Namun, di luar ketenangan itu, Biru masih saja menjadi gangguan yang tak terhindarkan.  

Suatu hari, saat Madina pulang kuliah, ia mendapati selembar kertas terselip di antara bukunya. Tulisannya jelas, khas gaya jahil Biru.  

"Kak, kalau aku ada di hati kakak 10%, Laut ada berapa persen?"

Madina mendengus geli. Tanpa berpikir panjang, ia membalas di bawahnya.  

"0%. Karena belum ada yang masuk ke hati aku."

Keesokan harinya, Biru kembali dengan ekspresi dibuat-buat sedih. "Kak Madina kejam banget, aku baru 10%?"

Madina tak bisa menahan tawa. Tapi sebelum ia bisa menjawab, Laut muncul dan menatap Biru dengan tatapan santai. "Setidaknya 10% lebih besar dari nol."

Biru mendengus. "Tapi aku punya strategi buat nambah persentase. Kak Madina, tunggu aja!"  

Madina hanya bisa menggeleng. Dua anak semester satu ini benar-benar tak ada habisnya. 

Namun, hari demi hari berlalu, dan perlahan-lahan, tanpa Madina sadari, Biru memang berhasil menambah persentase itu.  

Bukan dengan catatan manis seperti Laut. Bukan dengan sikap tenang dan penuh teka-teki. Tapi dengan caranya sendiri—dengan tawa, dengan keisengan yang selalu bisa membuat Madina kesal sekaligus tersenyum.  

Dan pada suatu sore, saat Madina berdiri di depan asrama putra menunggu temannya, tiba-tiba Biru muncul dengan jaket lusuh dan senyum khasnya.  

"Kak, kalau aku udah 50%, kakak bakal mulai mikirin aku nggak?"

Madina menatap Biru lama. Untuk pertama kalinya, ia tidak bisa menjawab.  

Karena kenyataannya, Biru sudah lebih dari 50%.  

***

Madina mulai merasa ada yang berbeda. Setiap kali Biru muncul dengan senyum jahilnya, setiap kali pesan-pesan isengnya masuk ke WhatsApp, jantungnya berdegup sedikit lebih kencang. Ia tak mau mengakuinya, tapi Biru memang berhasil mencuri perhatiannya—meski dengan cara yang paling menyebalkan.

Di sisi lain, Laut masih setia dengan cara pendekatannya yang tenang dan misterius. Namun, ada sesuatu yang berubah sejak Laut mengetahui bahwa Biru juga menyukai Madina.

Suatu hari di perpustakaan, saat Madina sedang fokus membaca, Laut duduk di sebelahnya dan berbisik pelan, "Kak, kalau boleh tahu… kenapa kakak masih terus membalas catatan Biru, meskipun dia sering gangguin kakak?"

Madina tersentak. Laut jarang bertanya hal yang langsung menusuk seperti ini. Biasanya, ia hanya meninggalkan pesan-pesan samar yang butuh ditebak.

Ia menutup bukunya, lalu menatap Laut. "Mungkin karena aku nggak pernah benar-benar keberatan?"

Jawaban itu keluar begitu saja. Dan saat ia mengatakannya, Madina sadar—itulah perasaannya sebenarnya.

Laut terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. "Aku tahu Biru orang yang menyebalkan. Tapi dia memang tahu caranya membuat orang nggak bisa mengabaikannya."

Madina tertawa kecil. "Kamu juga nggak bisa diabaikan, Laut."

Laut tersenyum lagi, tapi kali ini ada sesuatu di matanya—sesuatu yang Madina belum bisa pahami.

***

Beberapa hari setelah percakapan itu, Biru kembali dengan kejahilannya.

Di kantin kampus, saat Madina sedang antre membeli makan, tiba-tiba seseorang berbisik di belakangnya.

"Hai sayang, pesan apa hari ini?"

Madina hampir menjatuhkan dompetnya. Ia menoleh cepat dan mendapati Biru dengan senyum penuh kemenangan.

"Biru!"

Biru hanya tertawa, lalu dengan santai menambahkan pesanan yang sama dengan Madina kepada penjual. "Kalau makanannya sama, mungkin perasaan kita juga bisa sama, ya?"

Madina melotot. "Dasar sok puitis!"

Biru mengangkat bahu. "Namanya juga usaha. Udah berapa persen sekarang?"

Madina berpikir sejenak, lalu tersenyum tipis. "Rahasia."

Biru mendesah dramatis. "Ah, ini sih pasti udah di atas 70%."

Madina tidak menjawab. Tapi jauh di dalam hatinya, ia tahu… mungkin Biru benar.

Dan Laut? Ia tetap ada di sana, diam, memperhatikan. Hingga suatu hari, di daftar absen perpustakaan, Madina membaca catatan terakhir dari Laut.

"Kalau hati kakak sudah memilih, aku akan berhenti bertanya."

Madina terdiam lama sebelum akhirnya menulis balasan.

"Terima kasih sudah menjadi bagian dari kisah ini."

Ketika ia menutup daftar absen, perasaannya campur aduk. Namun, di luar perpustakaan, Biru sudah menunggu dengan senyum khasnya.

"Kak Madina, mau ke kantin? Aku traktir, tapi dengan satu syarat."

Madina mengangkat alis. "Apa?"

Biru mendekat, menatapnya dengan mata penuh keyakinan. "Setelah ini, kakak harus kasih tahu berapa persennya."

Madina tersenyum kecil, lalu berjalan mendahului Biru.

Ia tidak perlu menjawab. Karena mereka berdua sudah tahu jawabannya.