Sabtu, 13 Februari 2021

Resume Kulwap Teh Nisa dan Kang Zaki 4

 وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَىٰ


Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya (QS An-najm: 39)


Aisyah berkata: Nabi menjahit kainnya, menjahit sepatunya dan mengerjakan apa yang biasa dikerjakan kaum lelaki dirumah (HR. Ahmad)


Ayat  dan hadits diatas menunjukkan bahwa Islam mengajarkan kemandirian. Salah satu asma Allah adalah Al-Qoyyum, Sang Maha Mandiri yang senang pada hambaNya yang mandiri.


Menstimulasi kemandirian anak sangatlah penting. Kenapa? Karena Islam mengajarkan bahwa saat seseorang baligh (sekitar usia 10-15th) maka ia bertanggung jawab penuh terhadap dirinya, diperbolehkan nikah artinya harus bisa mencari nafkah sendiri untuk laki-laki. Dan hal tersebut perlu dipersiapkan sejak dini. Seorang anak selain punya hak sebagai seorang anak kecil, ia juga memiliki hak sebagai calon seorang dewasa yang perlu kita siapkan dan dampingi.


Kemandirian merupakan skill dasar yang harus dimiliki setiap orang untuk hidup. Tak ada yang bisa menjamin sampai kapan kita sebagai orangtua bisa mendampingi anak-anak kita. Mampu mengurus diri sendiri adalah syarat mutlak sebelum seseorang bisa mengurus orang lain. Dimana kelak seorang laki-laki bertanggungjawab mengurus keluarga besarnya. Seorang wanita mengurus suami dan anak-anaknya..


Kemandirian itu KEBUTUHAN bukan TUNTUTAN. Jadi yang perlu dilakukan orangtua adalah mendampingi dan memfasilitasi, bukan menuntut. Tanpa kemandirian, seseorang tidak bisa bertahan hidup.  Kemandirian seorang anak berkaitan erat dengan pendidikan karakter dan AQ (Adversity Quotient), kecerdasan untuk bertahan hidup. Bonusnya, lebih cepat anak mandiri, lebih cepat ibu merdeka. hihi. Itu salah satu motto populer di mata kuliah Ibu Profesional dulu. Terutama saat niat punya anak banyak, anak mandiri tentu akan mampu mengurangi stressor orang tuanya. Di negara-negara Jepang dan Eropa, bahkan titik tekan pendidikan pre-school (TK) berada pada aspek ini, bukan kognitif.


Karenanya dalam praktek HE kami terhadap Lulu, aqidah serta kemandirian adalah hal dasar yang mendapat perhatian penting. Dari pengalaman mengoptimalkan ikhtiar kami menstimulasi kemandirian Lulu, ada 5 tahapan yang sangat membantu tercapainya kemandirian anak. Yaitu 5E.

1. Exposure : Pemaparan (teladan)

2. Environment : Lingkungan

3. Enjoy : Kenyamanan

4. Emergency Aid : Bantuan darurat

5. Establish Habit : Membentuk Kebiasaan (konsistensi)


Sebagai langkah pertama yang sangat penting dalam menstimulasi kemandirian adalah menciptakan lingkungan utama yang kondusif untuk perkembangan kemandirian anak yaitu *Rumah Ramah Anak*. Apakah ia? Sebuah rumah yang didesain untuk memudahkan sang anak untuk bisa melakukan berbagai hal sendiri. Misalnya, saat kita berharap anak bisa cebok dan mandi sendiri pastikan kran dan alat mandi terjangkau, gayung ringan dll. Saat berharap anak terbiasa ganti baju sendiri, pastikan lokasi baju tertata dan terjangkau anak dll. Berusaha mempraktekan salah satu konsep dasar Montessori "Teach me yo do it myself". Hal ini sering luput diperhatikan para orangtua. 


Tentunya saat kita membeli/ngontrak rumah yang sudah jadi, tidak mudah menciptakan Rumah Ramah Anak. Itupun yang kami alami. Kini tempat tinggal kami pun belum menjadi Rumah Ramah Anak yang sempurna, namun setidaknya semoga sharing ini bermanfaat untuk membantu rekan-rekan untuk memepertimbangkan beberapa hal sebelum mengontrak/membeli rumah..


Anak kelak mandiri cepat/lambat itu HASIL, Allah yang memegang kendali. Bagian kita adalah mengoptimalkan IKHTIAR kita. Karena bukankah itu yang menjadi tabungan amalan kita.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar