Jumat, 07 Maret 2025

Pilihan Madina

 


Tahun 2005. Masa di mana email masih jadi sarana komunikasi utama bagi mahasiswa yang ingin terlihat keren. Juga masa di mana Madina, mahasiswi semester lima di perguruan tinggi Islam, tidak pernah membayangkan hidupnya akan dibuat ramai oleh dua adik kelas yang bersaing merebut perhatiannya.  

Salah satunya adalah Biru. Mahasiswa semester satu yang masih tinggal di asrama. Awalnya, Madina hanya menganggapnya sebagai anak bawang yang butuh bimbingan. Suatu hari, Biru mendekatinya dengan alasan klasik.  

"Kak, boleh minta emailnya? Buat tanya-tanya tugas," katanya waktu itu.  

Madina tidak curiga. Diberikannya email itu, mengira ini hanya interaksi biasa antara kakak dan adik kelas. Namun, dalam beberapa hari, emailnya penuh dengan curhatan Biru. Mulai dari tugas kuliah, dosen yang killer, hingga obrolan tentang kehidupan di asrama. Awalnya Madina menanggapi sekadarnya, tapi obrolan mereka terus berlanjut.  

Sampai suatu hari, Biru bertanya, "Kak, gimana kalau ada adik kelas yang suka sama kakak kelasnya?"

Madina menjawab santai, "Ya nggak apa-apa, suka mah bebas."

Namun, balasan Biru setelahnya membuat Madina terdiam lama.  

"Berarti nggak apa-apa kalau aku suka Kak Madina?"

Madina hanya bisa membalas dengan emoji -_-".  

Biru tidak menyerah. Sekarang ia sering mengirim pesan lewat WhatsApp. Pertanyaannya konyol, tapi entah bagaimana selalu bisa membuat Madina tertawa—atau sebaliknya, kesal.  

"Hai sayang, udah makan belum?"

Madina mendengus membaca pesannya. Anak semester satu udah berani cat calling! 

Namun, tidak hanya Biru yang menunjukkan ketertarikan padanya. Ada juga Laut. Mahasiswa yang seangkatan dengan Biru, tapi pendekatannya jauh berbeda.  

Madina sering ke perpustakaan. Dan di sana, ia mulai menyadari kebiasaan aneh di daftar absen. Di samping namanya, selalu ada catatan kecil.  

"Hari ini baca buku apa, Kak?"

"Kak Madina, kopi atau teh?"

Awalnya, Madina tidak tahu siapa yang menulis. Namun, setelah beberapa kali menemukan nama yang sama di daftar absen, ia menyadari bahwa si penulis itu adalah Laut.  

Tanpa sadar, Madina mulai membalas. Di pinggir nama Laut, ia menulis balik.  

"Buku Tafsir Al-Misbah. Kamu suka kopi atau teh?"

Dan sejak saat itu, mereka seperti memiliki kode rahasia. Setiap kali ke perpustakaan, ada obrolan kecil yang terjalin lewat catatan-catatan di daftar absen.  

Lama-kelamaan, Biru dan Laut seperti rival yang tidak resmi. Laut yang tenang, penuh kejutan kecil yang manis. Biru yang jahil, tidak pernah kehabisan akal untuk membuat Madina kesal.  

Namun, anehnya, Madina tidak bisa mengabaikan Biru.  

Setiap kali Biru menggodanya, meski sebal, ada sesuatu yang lain di dalam dadanya. Setiap kali Biru mengirim pesan-pesan iseng, ada senyum yang tak bisa ia tahan.  

Hingga suatu hari, di kantin kampus, saat Madina sedang makan, Biru datang dan dengan santainya berkata, "Kak Madina, kalau aku terus gangguin kakak tiap hari, kira-kira kakak bisa suka sama aku nggak?"

Madina memutar bola matanya. "Nggak tahu."  

Biru tersenyum penuh percaya diri. "Oke, berarti aku bakal terus gangguin kakak sampai kakak tahu jawabannya."  

Dan anehnya, Madina tidak keberatan sama sekali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar