Minggu, 24 Maret 2024

Kamu Memang Spesial, Nak!

 


“Astahgfirullah, aku tertidur rupahnya ketika menyusui si kecil Afkar,” gumamku. 

“Teh Iya … teh Iya di mana?” 

“Mah, ini rumah buat mamah,” katanya memperlihatkan bentuk lego yang telah dibentuk bangunan. 

“Wah, cantik rumahnya,” 

“Iya, Mah. Ini Aku buat untuk mamah. Mamah jangan marah lagi ya. Aku nggak suka, mamah marah.” Tangannya masih sibuk menyusun lego-lego yang tersisa.

Jleb, rasanya hatiku seperti teriris mendengar pengakuannya. Akhir-akhir ini memang aku banyak marahnya sama teh Iya. Entahlah, hal kecil saja bisa menjadi seperti besar. Mataku sedikit berkaca-kaca.

Kutatap wajah polosnya, ia tengah tersenyum sangat cantik. Mungkin sekilas ia bisa menangkap wajah mamahnya yang sedikit berlinang.

“Iya sayang, maafkan mamah ya.” Kubawa ia dalam pelukanku hangat. Air mataku rasanya tak kuasa kutahan. 

“Aku sayang mamah,” katanya masih dalam pelukanku.


“Ia sayang, mamah juga sayang teh Iya.” 

Aku jadi teringat beberapa jam sebelumnya, teh Iya merengek mau nonton Shimajiro (film edukasi dari Jepang), tapi posisiku sedang mencuci piring. 

“Tunggu sebentar ya, Teh.” Tanganku masih sibuk membersihkan piring dan gelas kotor.

Tapi ternyata, teh Iya sepertinya tak cukup mengerti kalau mamahnya sedang mencuci piring, hingga terdengar suara tangisan dan rengekan manggil-manggil mamah.

“Sabar teh, mamah masih mencuci piring. Sebentar lagi selesai.” Tanganku belum lepas dari piring dan gelas kotor yang tersisa.

Tetapi ternyata ucapan sabarku tak cukup membuat teh Iya sabar menunggu, tangisnya pecah dan rengekannya semakin kencang.

“Teteeeeeh, bisa tunggu sebentar! Kok teteh cengeng sih. Dede juga sabar nunggu mamah,” kataku sedikit kesal. 

“Aku kesal,” katanya. Ia pun seperti biasa masuk ke kamar kalau sedang kesal. 

Aku segera menyelesaikan pekerjaanku. Kususul teh Iya ke kamar diikuti si kecil Afkar. 

Sampai di kamar kulihat, teh Iya sudah tertidur pulas. Rupanya ia ngantuk dan ingin diperhatikan. Tiba-tiba hatiku menjadi gerimis. 

“Nenen, Mah.” Si kecil Afkar merengek mau mimik. Akhirnya tak memerlukan waktu lama, kami pun terlelap bersama.

Aah … tak ada anak yang nakal, yang ada anak yang spesial. Aku bilang teh Iya cengeng, karena aku tidak berusaha memahami keinginan teh Iya. 

“Mamah akan belajar lagi, Nak. Agar bisa menghargaimu sebagai anugerah terindah untuk mamah,” gumamku dalam hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar