Sabtu, 25 Agustus 2018

Parkir


“Permisi, Pak. Maaf mobilnya bisa dipindahkan sebentar? Ada mobil sampah yang akan lewat.” Terdengar suara seorang bapak berbicara dengan suamiku di depan pekarangan rumah kami.

“Maaf, Pak. Itu bukan mobil saya. Sepertinya punya pak Gani, rumah ke-3 dari sebelah kanan rumah saya.” Suamiku menunjukkan arah rumah bapak yang dimaksud.

“Oh iya, Pak. Mohon maaf. Terima kasih informasinya,” kata bapak itu yang ternyata beliau adalah bapak yang suka mengumpulkan sampah perumahan kami ke truk sampah kota.

Pak Gani, memang sepertinya sedang menjadi pembicaraan di lorong perumahan kami. Ia adalah seorang pengusaha cukup sukses dengan bisnis angkot dan usaha vermak kursinya.

Tapi bukan itu yang menjadi pembicaraan kami, tetangganya. Kebiasaannya yang menurut kami menyebalkan adalah parkir kendaraannya di sembarang tempat.


Ia memang memiliki banyak kendaraan roda empat, dua di antaranya adalah mobil angkot dan mobil jemputan tua yang sering bertengger di depan rumah kami. Anehnya, di pekarangan rumahnya sendiri tidak dijadikan tempat parkir. Malah dijadikan tempat menyimpan hewan peliharaanya, seperti burung, ikan hias, dan dipenuhi dengan pot yang ditanami bunga-bunga kesayangannya. Jadilah, pekarangan rumah tetangganya jadi korban tempat parkirnya. Tidak masalah jika, sekali dua kali parkirnya. Ini parkir selamanya.

“Kenapa Bu? Kok pintunya lama dibuka kan?” tanya suamiku sudah berdiri di sampingku dengan tersenyum. “Mikiran mobil orang lagi? Biarlah! Kan sudah diperingatkan juga tidak ada hasilnya. Tapi pak Gani juga bingung kayaknya sih, mau parkir di mana mobil-mobilnya itu. Yang ada, mobilnya harus dijual dulu,” kata suamiku  sedikit menggodaku. Wajahku semakin aku tekuk, masih kesal dengan masalah parkir ini.

***
Pukul 04.45
“Brum … brum … brum …” terdengar suara mobil tua yang sedang dinyalakan mesinnya. Tapi, sepertinya hari ini mobil jemputan itu sedang enggan berangkat. Beberapa kali dinyalakan, tetap tak bisa jalan.

“Bau apa ini, Bu? Baunya menyengat sekali,” tanya suamiku yang sedang bersiap berangkat ke mesjid untuk salat Subuh berjamaah.

“Biasa, Pak. Bau asap mobil tetangga. Ini kan ganggu banget Pak. Suaranya bising, asapnya juga bahaya. Masa pagi-pagi sudah dikasih asap bau begini,” kataku mengeluarkan unek-unek yang dari tadi dipendam.

“Iya Bu, kamar anak-anak ditutup saja. Bahaya asapnya. Ayah berangkat dulu ya,” kata suamiku yang sudah rapi dengan baju koko dan sarungnya, tak lupa peci hitam yang selalu setia menemaninya ke mesjid.

***
Aku baru selesai mengaji, ketika sebuah pesan WA dari bu Irma, tetangga sebelah kanan masuk.

“Bagaimana, Bu? Siap dieksekusi ya. Malam ini kalau semua sudah setuju.”

Aku berpikir sejenak, dengan sedikit ragu kuketik pesan WA. “Baiklah, Bu. Saya ikut saja. Saya sudah sangat terganggu dengan ulahnya .” Kutekan tombol send.

Ah, semoga saja masalahnya bisa selesai,” gumamku dalam hati.

***
Pagi ini di komplek kami gempar. Mobil-mobilnya pak Gani yang parkir di sembarang tempat itu telah kehilangan ban-ban mobilnya. Entah siapa yang melakukannya. Yang pasti, aku melihat pak Gani tertunduk lemas di rumahnya. Para tetangga berdatangan untuk melihat konsidinya. Istrinya datang menyodorkan segelas air pada suaminya itu, pak Gani pun segera meminumnya.

“Kok bisa ya saya kecolongan begini?” Katanya seperti menyalahkan diri sendiri.

Tiba-tiba ada pesan WA masuk.

“Gawat, Bu. Semalam bapak-bapak perumahan pas mau eksekusi, udah ada yang mendahului. Mobil-mobil itu sudah kehilangan ban-bannya.” Wajahku sedikit tegang dengan masuknya pesan itu. Tiba-tiba saja ada banyak pertanyaan di kepalaku. Siapa yang telah mengambil ban-ban mobil itu? Apakah ada pencuri masuk ke perumahan ini? Kok bersamaan dengan rencana konyol kami? Entahlah, aku mendadak menjadi ketakutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar