***
Tak terasa, aku sudah lulus dari pesantren tempatku dibesarkan. Banyak nasihat yang selalu aku ingat dari para asaatidz dan asaatidzah di sana. Salah satu amalan yang masih aku dawamkan sampai aku menikah adalah doa dari pimpinan pondok pesantren, yang kata beliau itu adalah doa agar tidak ditaksir oleh preman hehe.
Doanya seperti ini:
اللَّهُمَّ اِنِّىْ اَسْئَلُكَ حُبَّكَ وَ حُبَّ مَنْ يُّحِبُّكَ وحُبَّ عَمَلٍ يُّقَرِّبُ اِلى حُبِّكَ
Artinya:
"Ya Allah, sungguh aku memohon cinta kepada-Mu dan cinta orang yang cinta kepada-Mu, dan cinta kepada semua amal perbuatan yang mendekatkan aku kepada cinta kepada-Mu.
Begitulah, doa ini sudah menjadi hari-hariku. Seperti sudah menjadi refleks ketika selesai shalat, baik wajib maupun sunnah.
Sampai ketika aku menikah dianugerahi suami yang salih, aku berpikir ini adalah salah satu doaku yang tidak pernah putus dari semenjak aku mengenyam bangku Madrasah Tsanawiyah (MTs) sampai aku menikah, hampir 15 tahun. Selain, doa orangtua tentunya yang tak pernah putus.
Tapi untuk mendapatkan pasangan yang sekarang ini, rasanya jalan yang aku lalui itu berliku-liku, terutama setelah aku lulus dari pesantren.
***
Setelah lulus, aku sempat ragu untuk kuliah karena di desaku belum ada yang sampai menginjak bangku kuliah di zamanku.
Tetapi, rupanya Allah mentakdirkan lain. Aku begitu terkesima dengan seseorang yang datang ke pesantrenku menjelaskan Ekonomi Syariah dengan menggunakan bahasa Arab. Bagiku, itu sangat keren. Ternyata beliau ini adalah ketua Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) yang terletak di Bogor. Maka, aku pun akhirnya memilih untuk kuliah di sana. Dengan keinginan bisa berprestasi seperti beliau. Paham ilmu umum dan ilmu agama juga.
Awal masuk kuliah tidak ada hambatan yang berarti. Mungkin, karena tahun pertama masih di asrama dan dipisah antara ikhwan dan akhwat. Jadi suasananya masih seperti di pesantren.
Tahun ketiga, aku tinggal di kompleks perumahan dekat asrama kampusku dulu di tingkat satu. Hanya dibatasi sungai yang membentang dengan jembatan yang menghubungkannya. Sehingga, aku dan teman kontrakanku bisa main ke asrama untuk sekadar ke laboratorium komputer (labkom) atau ke perpustakaannya. Kadang, kami juga ke dapur untuk ngobrol dengan ibu dapur yang memang sudah lumayan akrab. Kalau sudah ke dapur, biasanya kami bisa makan sepuasnya di sana. Lumayan bisa mengirit uang jajan.
Suatu hari, saat aku di labkom, ada seorang ikhwan yang menegurku dan mengajak kenalan dengan meminta alamat email. Karena dia adik kelasku dua tahun di bawahku, maka tanpa ragu aku memberikan alamat email. Waktu itu HP masih jarang digunakan.
Entahlah, setelah pertemuan itu banyak pertemuan selanjutnya yang tidak disengaja. Di perpustakaan, di labkom, di depan asrama, rasanya dia selalu muncul.
Hingga suatu hari, ada email masuk dari yang tidak kukenal. “Halo kakak. Aku Langit, yang waktu itu minta email kakak. Boleh tanya sesuatu nggak, Kak?”
“Oh iya, salam kenal Langit. Boleh, memang ada apa?”
“Terima kasih, Kak. Begini, kalau ada ikhwan suka dan jatuh cinta sama yang lebih tua atau kakak kelasnya. Menurut kakak bagaimana?”
Pertanyaan yang aneh, pikirku. Tetapi tanganku mengetik juga. “Ya gpp, Langit. Nggak ada yang salah kok.”
“Berarti gpp ya, Langit jatuh cinta sama kakak.”
Gubrak, rasanya aku mau pingsan. Belum juga kenal, udah jatuh cinta aja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar