Aku menikah di usia yang sudah sangat matang. Bahkan, tergolong terlambat kalau di kampungku. Usia 28 tahun, usiaku ketika itu.
Perjalanan menuju pelaminan tahun 2013 di bulan Juni tanggal 01, relatif sangat mudah dan tidak memerlukan waktu yang lama. Dari ta’aruf ke hari pernikahan membutuhkan waktu sekitar 4 bulan.
Aku sebetulnya tidak menyangka akan menikah dengan jalan ta’aruf. Bagiku ta’aruf itu adalah jalan orang-orang yang istimewa. Apalah aku yang banyak membuat dosa sebelum menikah.
Sehingga ketika ada tawaran ta’aruf dari murabbiah adikku, aku masih maju mundur. Bukan karena apa, aku betul-betul malu untuk ta’aruf dengan sederet alfa dan dosa dengan lawan jenis. Aku bahkan tidak terlalu menjaga pergaulanku dengan mereka.
Aah… Tetapi Allah betul-betul menyayangiku! Aku diberikan kesempatan untuk menikah dengan jalan terbaik menurutku. Aku kelak bisa bercerita ke anak cucu, kalau aku menikah tanpa pacaran. Sesuatu yang sangat membuatku terharu dan bersyukur tiada henti.
***
Perjalanku sebelum menikah sangat rumit. Aku mengenal hukum pacaran sejak aku masuk pondok pesantren di Kuningan, Jawa Barat. Di sanalah aku mengenal agama dengan baik. Tetapi, pada kenyataannya secara aplikasi, aku masih di level bawah, terutama dalam hal membatasi pergaulan dengan lawan jenis.
Sejak Madrasah Aliyah (setara SMA) rasanya memang godaan terbesarku adalah pergaulan dengan lawan jenis. Aku kadang merasa aneh, ketika melihat ikhwan, kadang dalam hatiku suka ada getaran tersendiri ketika ikhwan tersebut ada sedikit simpati kepadaku. Bukan GR, tapi ketika getaran itu muncul, beberapa hari atau minggu tiba-tiba suka ada sinyal dari ikhwan tersebut kalau memang dia ada rasa simpati kepadaku. Beberapa kali kejadian seperti itu.
Pernah suatu kali, ada kegiatan kumpul santri asal daerah. Kebetulan dari daerahku, ada cukup banyak santri yang mondok di sana. Kami memang sengaja membentuk perkumpulan khusus agar kami sebagai santri bisa memberikan kontribusi untuk masyarakat ketika liburan tiba.
Kalau di pesantren kami di pisah dengan ikhwan, tidak demikian ketika di perkumpulan daerah. Kami bisa bergabung antara ikhwan dan akhwat, hal ini dimaksudkan untuk mendukung kegiatan yang kami rancang untuk masyarakat. Salah satu program kami waktu itu adalah Studi Islam Intensif (SII) untuk daerah yang kami tunjuk selama 3 hari.
Ketika kegiatan itulah, aku merasa ada salah satu kakak kelas ikhwan yang ada sedikit simpati kepadaku hihi GR. Beliau adalah ketua SII kami. Padahal kalau dari tindak-tanduknya tidak ada yang menunjukkan ke arah perasaannya. Hanya perasaanku saja.
Hari terus berlalu, liburan telah usai. Aku kembali masuk ke pesantren. Tiba-tiba hari kedua di pesantren setelah liburan, aku dipanggil kakak kelas akhwat yang satu daerah, ternyata beliau masih saudara ikhwan ketua SII kami. Kak Sari namanya.
“Dina, kakak ada titipan ini dari kak Rasyid. Hati-hati ya, nanti ketahuan sie keamanan.” Kak Sari tersenyum menggoda sambil memberikan sepucuk surat beramplop merah jambu.
“Ini apa, Kak?” aku pura-pura tak mengerti, karena memang aku baru pertama kali bertemu dengan kak Rasyid itu di kegiatan SII tersebut.
“Baca aja, Din. Kakak juga nggak tahu, kan cuma titipan.” Kak Sari terkekeh.
“Oh iya, Kak. Terima kasih ya.” Aku memasukkan surat tersebut ke dalam saku gamisku. Kalau ketahuan sie keamanan bisa bermasalah dan menjadi rumit. Bisa saja aku disuruh membacakan suratnya di depan santriwati. Malunya bukan kepalang.
***
Malam hari, aku menuju ruangan lantai dua yang menjadi kelasku. Kuambil kursi dan memasukkan surat ke dalam lembaran buku, agar tidak ada yang menyangka aku sedang membaca surat.
Perlahan aku membuka amplop itu.
“Sreeet …” bunyinya membuat jantungku berdebar.
Ternyata surat tersebut berisi dua amplop, ketika satu amplop terbuka, masih ada amplop lain yang menutupinya. Ternyata ada tulisan di amplop tersebut.
“Assalamu’alaikum, Ukhti. Sebelum membuka amplop ini, dimohon untuk membaca basmalah, istighfar dan ta'awudz. Semoga Allah memaafkan hambaNya ini.”
Dengan perlahan aku merobek amplop untuk kedua kalinya. Dalam surat tersebut intinya tertulis, beliau ingin serius denganku, menikah tujuannya. Hatiku menjadi tak karuan, ada perasaan kurang sreg dengan semua yang dilakukan kak Rasyid ini.
Ada perasaan yang mengganjal. Mengapa harus menulis surat langsung kepadaku? Mengapa tidak datang langsung ke orangtuaku? Mengapa harus sekarang, karena aku masih kelas 2 Aliyyah. Masih lama rasanya menuju pernikahan.
Memang isi suratnya tidak ada gombalan ala anak muda zaman itu, tapi intinya aku kurang suka caranya. Pemikiranku kala itu masih jernih, ketika berniat menikah, maka harus datang ke rumah orangtuaku.
Dengan asumsi tersebut, aku memutuskan untuk “menolak” niat kak Rasyid. Aku tidak memberitahukan hal ini ke orangtuaku, karena aku berpikir belum saatnya untuk menikah.
Hingga akhirnya, kak Rasyid menikah dengan orang lain dan aku pun sempat datang ke undangan pernikahannya. Alhamdulillah semua baik-baik saja, tidak ada yang terluka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar