Rabu, 31 Januari 2024

Sekilas Tentang Kisah Pernikahanku



Aku menikah di usia yang sudah sangat matang. Bahkan, tergolong terlambat kalau di kampungku. Usia 28 tahun, usiaku ketika itu. 


Perjalanan menuju pelaminan tahun 2013 di bulan Juni tanggal 01, relatif sangat mudah dan tidak memerlukan waktu yang lama. Dari ta’aruf ke hari pernikahan membutuhkan waktu sekitar 4 bulan. 


Aku sebetulnya tidak menyangka akan menikah dengan jalan ta’aruf. Bagiku ta’aruf itu adalah jalan orang-orang yang istimewa. Apalah aku yang banyak membuat dosa sebelum menikah. 


Sehingga ketika ada tawaran ta’aruf dari murabbiah adikku, aku masih maju mundur. Bukan karena apa, aku betul-betul malu untuk ta’aruf dengan sederet alfa dan dosa dengan lawan jenis. Aku bahkan tidak terlalu menjaga pergaulanku dengan mereka. 


Aah… Tetapi Allah betul-betul menyayangiku! Aku diberikan kesempatan untuk menikah dengan jalan terbaik menurutku. Aku kelak bisa bercerita ke anak cucu, kalau aku menikah tanpa pacaran.  Sesuatu yang sangat membuatku terharu dan bersyukur tiada henti. 


***

Perjalanku sebelum menikah sangat rumit. Aku mengenal hukum pacaran sejak aku masuk pondok pesantren di Kuningan, Jawa Barat. Di sanalah aku mengenal agama dengan baik. Tetapi, pada kenyataannya secara aplikasi, aku masih di level bawah, terutama dalam hal membatasi pergaulan dengan lawan jenis. 


Sejak Madrasah Aliyah (setara SMA) rasanya memang godaan terbesarku adalah pergaulan dengan lawan jenis. Aku kadang merasa aneh, ketika melihat ikhwan, kadang dalam hatiku suka ada getaran tersendiri ketika ikhwan tersebut ada sedikit simpati kepadaku. Bukan GR, tapi ketika getaran itu muncul, beberapa hari atau minggu tiba-tiba suka ada sinyal dari ikhwan tersebut kalau memang dia ada rasa simpati kepadaku. Beberapa kali kejadian seperti itu. 


Pernah suatu kali, ada kegiatan kumpul santri asal daerah. Kebetulan dari daerahku, ada cukup banyak santri yang mondok di sana. Kami memang sengaja membentuk perkumpulan khusus agar kami sebagai santri bisa memberikan kontribusi untuk masyarakat ketika liburan tiba. 


Kalau di pesantren kami di pisah dengan ikhwan, tidak demikian ketika di perkumpulan daerah. Kami bisa bergabung antara ikhwan dan akhwat, hal ini dimaksudkan untuk mendukung kegiatan yang kami rancang untuk masyarakat. Salah satu program kami waktu itu adalah Studi Islam Intensif (SII) untuk daerah yang kami tunjuk selama 3 hari. 


Ketika kegiatan itulah, aku merasa ada salah satu kakak kelas ikhwan yang ada sedikit simpati kepadaku hihi GR. Beliau adalah ketua SII kami. Padahal  kalau dari tindak-tanduknya tidak ada yang menunjukkan ke arah perasaannya. Hanya perasaanku saja. 


Hari terus berlalu, liburan telah usai. Aku kembali masuk ke pesantren. Tiba-tiba hari kedua di pesantren setelah liburan, aku dipanggil kakak kelas akhwat yang satu daerah, ternyata beliau masih saudara ikhwan ketua SII kami. Kak Sari namanya. 


“Dina, kakak ada titipan ini dari kak Rasyid. Hati-hati ya, nanti ketahuan sie keamanan.” Kak Sari tersenyum menggoda sambil memberikan sepucuk surat beramplop merah jambu. 


“Ini apa, Kak?” aku pura-pura tak mengerti, karena memang aku baru pertama kali bertemu dengan kak Rasyid itu di kegiatan SII tersebut. 


“Baca aja, Din. Kakak juga nggak tahu, kan cuma titipan.” Kak Sari terkekeh. 


“Oh iya, Kak. Terima kasih ya.” Aku memasukkan surat tersebut ke dalam saku gamisku. Kalau ketahuan sie keamanan bisa bermasalah dan menjadi rumit. Bisa saja aku disuruh membacakan suratnya di depan santriwati. Malunya bukan kepalang. 


***

Malam hari, aku menuju ruangan lantai dua yang menjadi kelasku. Kuambil kursi dan memasukkan surat ke dalam lembaran buku, agar tidak ada yang menyangka aku sedang membaca surat. 


Perlahan aku membuka amplop itu. 


“Sreeet …” bunyinya membuat jantungku berdebar. 


Ternyata surat tersebut berisi dua amplop, ketika satu amplop terbuka, masih ada amplop lain yang menutupinya. Ternyata ada tulisan di amplop tersebut. 


“Assalamu’alaikum,  Ukhti. Sebelum membuka amplop ini, dimohon untuk membaca basmalah, istighfar dan ta'awudz. Semoga Allah memaafkan hambaNya ini.”


Dengan perlahan aku merobek amplop untuk kedua kalinya. Dalam surat tersebut intinya tertulis, beliau ingin serius denganku, menikah tujuannya. Hatiku menjadi tak karuan, ada perasaan kurang sreg dengan semua yang dilakukan kak Rasyid ini.


Ada perasaan yang mengganjal. Mengapa harus menulis surat langsung kepadaku? Mengapa tidak datang langsung ke orangtuaku? Mengapa harus sekarang, karena aku masih kelas 2 Aliyyah. Masih lama rasanya menuju pernikahan. 


Memang isi suratnya tidak ada gombalan ala anak muda zaman itu, tapi intinya aku kurang suka caranya. Pemikiranku kala itu masih jernih, ketika berniat menikah, maka harus datang ke rumah orangtuaku. 


Dengan asumsi tersebut, aku memutuskan untuk “menolak” niat kak Rasyid. Aku tidak memberitahukan hal ini ke orangtuaku, karena aku berpikir belum saatnya untuk menikah. 


Hingga akhirnya, kak Rasyid  menikah dengan orang lain dan aku pun sempat datang ke undangan pernikahannya. Alhamdulillah semua baik-baik saja, tidak ada yang terluka. 


***

Tak terasa, aku sudah lulus dari pesantren tempatku dibesarkan. Banyak nasihat yang selalu aku ingat dari para asaatidz dan asaatidzah di sana. Salah satu amalan yang masih aku dawamkan sampai aku menikah adalah doa dari pimpinan pondok pesantren, yang kata beliau itu adalah doa agar tidak ditaksir oleh preman hehe.


Doanya seperti ini:


اللَّهُمَّ اِنِّىْ اَسْئَلُكَ حُبَّكَ وَ حُبَّ مَنْ يُّحِبُّكَ وحُبَّ عَمَلٍ يُّقَرِّبُ اِلى حُبِّكَ


Artinya:
"Ya Allah, sungguh aku memohon cinta kepada-Mu dan cinta orang yang cinta kepada-Mu, dan cinta kepada semua amal perbuatan yang mendekatkan aku kepada cinta kepada-Mu. 


Begitulah, doa ini sudah menjadi hari-hariku. Seperti sudah menjadi refleks ketika selesai shalat, baik wajib maupun sunnah. 


Sampai ketika aku menikah dianugerahi suami yang salih, aku berpikir ini adalah salah satu doaku yang tidak pernah putus dari semenjak aku mengenyam bangku Madrasah Tsanawiyah (MTs) sampai aku menikah, hampir 15 tahun. Selain, doa orangtua tentunya yang tak pernah putus. 


Tapi untuk mendapatkan pasangan yang sekarang ini, rasanya jalan yang aku lalui itu berliku-liku, terutama setelah aku lulus dari pesantren. 


***

Setelah lulus, aku sempat ragu untuk kuliah karena di desaku belum ada yang sampai menginjak bangku kuliah di zamanku. 


Tetapi, rupanya Allah mentakdirkan lain. Aku begitu terkesima dengan seseorang yang datang ke pesantrenku menjelaskan Ekonomi Syariah dengan menggunakan bahasa Arab. Bagiku, itu sangat keren. Ternyata beliau ini adalah ketua Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) yang terletak di Bogor. Maka, aku pun akhirnya memilih untuk kuliah di sana. Dengan keinginan bisa berprestasi seperti beliau. Paham ilmu umum dan ilmu agama juga. 


Awal masuk kuliah tidak ada hambatan yang berarti. Mungkin, karena tahun pertama masih di asrama dan dipisah antara ikhwan dan akhwat. Jadi suasananya masih seperti di pesantren. 


Tahun ketiga, aku tinggal di kompleks perumahan dekat asrama kampusku dulu di tingkat satu. Hanya dibatasi sungai yang membentang dengan jembatan yang menghubungkannya. Sehingga, aku dan teman kontrakanku bisa main ke asrama untuk sekadar ke laboratorium komputer (labkom) atau ke perpustakaannya. Kadang, kami juga ke dapur untuk ngobrol dengan ibu dapur yang memang sudah lumayan akrab. Kalau sudah ke dapur, biasanya kami bisa makan sepuasnya di sana. Lumayan bisa mengirit uang jajan. 


Suatu hari, saat aku di labkom, ada seorang ikhwan yang menegurku dan mengajak kenalan dengan meminta alamat email. Karena dia adik kelasku dua tahun di bawahku, maka tanpa ragu aku memberikan alamat email. Waktu itu HP masih jarang digunakan. 


Entahlah, setelah pertemuan itu banyak pertemuan selanjutnya yang tidak disengaja. Di perpustakaan, di labkom, di depan asrama, rasanya dia selalu muncul. 


Hingga suatu hari, ada email masuk dari yang tidak kukenal. “Halo kakak. Aku Langit, yang waktu itu minta email kakak. Boleh tanya sesuatu nggak, Kak?”


“Oh iya, salam kenal Langit. Boleh, memang ada apa?”


“Terima kasih, Kak. Begini, kalau ada ikhwan suka dan jatuh cinta sama yang lebih tua atau kakak kelasnya. Menurut kakak bagaimana?”


Pertanyaan yang aneh, pikirku. Tetapi tanganku mengetik juga. “Ya gpp, Langit. Nggak ada yang salah kok.”


“Berarti gpp ya, Langit jatuh cinta sama kakak.” 


Gubrak, rasanya aku mau pingsan. Belum juga kenal, udah jatuh cinta aja.


***

Semakin lama, akhirnya komunikasi kami semakin intens. Rasanya aku seperti menemukan teman terbaikku. Aku mulai merasakan rasa yang tak kumengerti. Semua teori tentang menjaga hati, menjaga pandangan, dan hukum pacaran rasanya kalah dengan ego perasaanku. 


Hingga akhirnya, aku lulus dan bekerja di STEI juga, menjadi salah satu dosen muda dan asisten dosen. Pernah aku menjadi pengawas ujiannya, kadang juga masuk di kelasnya sebagai asisten dosen. Rasanya itu, nano-nano. Diledekin temannya, dia cool aja. Aku sih, cuek juga walaupun ketar-ketir. 


Hampir empat tahun kami dekat, dia pun sudah mau wisuda. Ketika momen wisuda itulah, aku dikenalkan dengan orangtua Langit. Ada rasa haru dan bahagia, juga deg-degan. Alhamdulillah respon mereka baik. 


Tak lama setelah itu, Langit pun datang ke orangtuaku. Orangtuaku dengan senang hati menerima lamaran dari seorang mahasiswa yang baru lulus, belum ada pekerjaan.


Selang beberapa bulan dari kelulusan, ia mendapatkan panggilan dari salah satu bank syariah di tanah kelahirannya, di pulau seberang. 


Ada perasaan senang, takut dan sedih karena kepergian Langit ke sana. Ternyata rasa sedih lebih dominan, aku pun menangis dan mengadu teman kostku, kak Ratna. Kak Ratna menguatkanku, kalau jodoh tidak akan ke mana katanya. 


***

Kepergian Langit ke tanah kelahirannya, ternyata menjadi pertemuan terakhir untuk kami. Hubungan LDR, menjadi sangat tidak jelas, kesibukan masing-masing menyita waktu kami. Dan aku masih ingat, hari itu aku bertengkar hebat dengannya. Aku merasa, ia tak lagi peduli karena pekerjaannya. Entahlah, apalagi yang membuat Langit begitu marah, sampai akhirnya kami memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami. 


Tak bisa dijelaskan perasaanku. Semua mimpi-mimpi yang telah kubangun rasanya hancur tak berkeping. Aku malu sama orangtuaku, bagaimana juga cara menjelaskan kalau kami sudah berakhir. Langit juga tidak ada kabar lagi setelah hari hari itu. 


Tiba-tiba kakak ipar Langit, kak Mira namanya, mengirimkan pesan di Facebook. Kalau Langit hari itu kecelakaan mobil dan dibawa ke rumah oleh seorang perempuan, teman kerjanya. Yang akhirnya, perempuan itu kini menjadi istrinya. 


Aku terluka, dengan perlakuan Langit. Tapi, aku sudah memaafkannya sekarang. Kebaikannya untukku juga banyak, aku tentu tak ingin membuat dendam dan marah menyarang di hatiku. Aku merelakannya. Orangtuaku pun, akhirnya memaafkannya, apalagi Allah telah menggantikan dengan seorang lelaki salih yang selalu membuat hati anak perempuannya menangis terharu karena kebaikan-kebaikannya. 


***

Perjalan menuju pelaminanku begitu mudah dan lancar. Bulan Februari aku memberikan biodata ke murabbiahnya adikku, seminggu kemudian kami bertemu di rumah murabbiyah adikku itu untuk ta’aruf bertemu wajah dan menanyakan apa saja yang masih mengganjal dari biodata tertulis. 


Aku betul-betul deg-degan dengan ta’aruf ini, tak pernah terbayangkan aku akan melakukan sunnahnya ini dengan cara yang suci, tanpa harus berlama-lama menjaga perasaan dan emosi. 


Aku menangis bahagia, karena Allah masih menjagaku, menyayangiku, dan mempertemukanku dengan seorang ikhwan yang belum pernah mengalami pacaran sebelumnya. Aku tersanjung, aku lah yang pertama baginya. Allah.. Betapa, Engkau Maha Segalanya. 


Setelah masa ta’aruf, Biru nama pemuda yang keren itu, datang ke rumah orangtuaku dengan murabbinya untuk bersilaturahim. Beberapa hari kemudian, aku dan adikku pun datang ke rumahnya. Keluarga besarnya menyambutku dengan bahagia, ia sendiri tidak ada di rumah karena sedang mempersiapkan keberangkatannya ke Sulawesi. 


Begitu cepat, setelah pertemuan itu, keluarga Biru datang ke rumah untuk melamarku. Rasanya bahagia dan terharu hatiku. Allah begitu memudahkan. 


Akhirnya disepakati tanggal pernikahannya, yaitu ketika Biru libur kuliah, karena yang sedang mengambil Strara 2 di Universitas Negeri di Makassar. 


Begitulah, akhirnya dengan pemuda pilihan itulah aku menikah. Doaku tentang suami yang salih, pintar, kaya harta ataupun hati, ganteng dan berakhlak yang baik di setiap salatku sejak 15 tahun lalu telah terwujud. Doa dari ustadzku tentang mencintai orang yang mencintaiNya juga terjawab dengan kehadirannya di sisiku. 


Hingga hari ini, kami telah menikah selama hampir 11 tahun. Dikaruniai dua puteri dan satu putera yang menyenangkan hati. 


Semoga Allah selalu memberikan rahmat dan keberkahanNya untuk keluarga kecil kami. Aamiin.. 


***

Jika ingin mengulang waktu, maka aku tak akan memilih untuk memiliki hati yang belum halal. Dosanya dan rasa bersalahnya tak sebanding dengan kenikmatannya. Bahkan, hati rasanya lebih resah dan selalu galau gulana. 


Semoga Allah juga mengampuni dosa-dosaku yang telah menghabiskan waktu sia-sia dengan dosa selama hampir 4 tahun lamanya. Aamiin

1 komentar:

  1. Aamiin, insya Allah sehidup sesurga dan ceritanya menginspirasi, Bun.

    BalasHapus