Jumat, 23 Februari 2024

Kenangan di Pondok, Allahumma Paksakeun

Ustadz telah berpulang




Mengingat kembali perjalanan waktu ketika di pondok Husnul Khotimah, seolah memutar keping demi keping kenangan bersama bapak yang telah berpulang sekitar 4 tahun lalu. 

Karena bapak lah, saya waktu itu bisa memilih pondok Husnul sebagai pilihan untuk meneruskan sekolah saya setelah lulus dari Sekolah Dasar. Dengan kondisi saat itu, tahun 1996 yang masih sangat awam di kampung saya, bapak telah memberikan setitik cahaya untuk saya menemukan pendidikan agama yang lebih baik. 

Sangat saya ingat, bagaimana pesan bapak mengapa harus memasukan saya ke sebuah pendidikan agama, kata beliau jangan sampai kami anak-anak beliau tidak mengenal agama seperti mereka yang hanya lulusan SD waktu itu. Orangtua saya ingin anak-anaknya bisa bahagia dunia dan akhirat dengan sekolah pondok modern. Hingga saat ini, saya sangat merasakan bagaimana di pondok itu membuat kita seimbang dalam memahami hidup ini. 

Bersyukur, Allah menunjukkan jalan menuju "kebahagiaan" dunia dan akhirat melalui pondok ini. 

Husnul Khotimah (HK) membuat saya mengenal banyak hal. Hingga hari ini, perjalanan saya yang selalu didekatkan dengan orang-orang baik, tentunya ada banyak andil dalam perjalanan saya selama 6 tahun di HK. 

Kalau diingat, bagaimana pertama kalinya saya masuk pondok. Rasanya tak percaya saya bisa bertahan karena ketika pertama kalinya datang dan para pengantar telah pergi meninggalkan pondok, malamnya dan malam-malam berikutnya saya sering menangis dan menangis karena ingin pulang. 

Bagaimana tidak? Sebelum saya masuk pondok, saya tak pernah menginap di rumah selain rumah sendiri. Pernah ikut uwak menginap, malamnya pas kebangun dari tidur, saya menangis sangat kencang dan minta pulang. Akhirnya malam itu pun, saya diantar pulang kembali.

Saya menangis tiap malam itu hampir 2 bulanan. Apalagi bapak itu, awal-awal saya datang ke pondok dua minggu sekali menjenguk saya ke sana. Semakin susah lah saya untuk "move on" karena seringnya dijenguk itu.

Mungkin saya akan terus menangis kalau tidak ada kakak kelas saya yang "menyadarkan" saya untuk berhenti menangis dan meminta saya melihat diri dengan baik. Saya diminta untuk bercermin tiap kali akan menangis, katanya apa tidak malu menangis terus? Coba terima dan bersyukur karena bisa belajar di pondok, yang tidak setiap orang bisa merasakannya. Entah apa lagi kata-kata beliau waktu itu, yang saya ingat, sejak saat itu saya udah jarang nangis. 

Sampai suatu hari, ada ceramah dari Ustadz Achidin Noer yang waktu itu beliau sebagai mudir ma'had. Ada kata-kata yang selalu saya ingat bagaimana katanya agar kita bisa betah di pondok ini.

Ada do'a yang bisa kita panjatkan dan praktikan agar kita betah di pondok. Do'anya itu adalah Allahumma Paksakeun. Insyaallah dengan do'a itu kita bisa memaksa diri kita untuk betah di pondok. Beliau pun menambahkan, kalau kita udah betah di pondok maka semua akan terasa ringan dan menyenangkan. Dengan kita betah, maka belajar pun akan menyenangkan. Saya yang waktu itu masih galau gulana manggut-manggut mendengarkan ceramah beliau. Entah mengapa, Allahumma Paksakeun itu membuat saya lebih kuat untuk bertahan di pondok. Sampai saatnya perpisahan tiba, saya yang tidak mau berpisah.

Begitulah setelah melewati dua bulan perjuangan, saya bisa betah dan mulai konsentrasi belajar. Sehingga di semester pertama kelas satu Tsanawiyah, nilai saya cukup memuaskan dan masuk 5 besar. Bapak pun tersenyum melihat nilai saya dan mengelus kepala serta mendoakan agar anaknya ini semakin betah dan terus belajar dengan baik. 

Alhamdulillah, bapak tidak pernah tahu kalau anaknya ini pernah hampir menyerah karena alasan klise, tidak betah. Allahumma Paksakeun, do'a yang ampuh untuk bertahan dari godaan ingin kembali pulang. 

***

Tak terasa sudah belasan tahun terlewati, dari pertama kalinya saya menjejakkan kaki di sana. Tapi nyatanya, ada banyak kenangan yang masih tertinggal di hati terdalam. Bahkan, kenangan itu masih seperti yang terus diputar di alam bawah sadar. Seringnya, saya bermimpi dalam suasana seperti di pondok dulu. 

Salah satu kenangan terindah itu, ketika saya berada di bangku kelas 3 Aliyah. Saya mempunyai delapan teman yang sudah seperti diri kita sendiri. Kami ditempatkan dalam satu ukhuwah yang tak mungkin terlupa. Waktu itu, kami bersembilan ada pada kamar yang bersebelahan dengan formasi 5:4. Yang menjadi kenangan terindahnya itu, semua milik kami kami satukan dan boleh dipakai bersama. Sehingga kami mempunyai satu lemari untuk baju bersama, satu lemari untuk kerudung, satu lemari untuk makanan dll. Saya waktu itu merasa beruntung mengenal teman-teman ini, karena menggoreskan kenangan indah yang bisa diceritakan. 

Selain barang-barang yang disatukan, kami juga mempunyai jadwal untuk mengerjakan pekerjaan pondok. Ada yang bagian mencuci, menjemur baju, mengambil makanan, dan menyetrika. Dengan bekerjasama seperti itu, rasanya semua pekerjaan menjadi ringan.

Tetapi walaupun demikian, masing-masing dari kami masih punya kehidupan sendiri ketika di dalam kelas karena kami ini lintas jurusan. Ada yang dari di kelas IPA, IPS dan Keagamaan. Sehingga ketika di kamar, kami tidak pernah membahas pelajaran. Kami belajar ya dengan teman kelas masing-masing.

Beberapa kenangan tentang kami, masih saya rekam dalam jejak ingatan. Ketika ada teman yang sakit, baik teman angkatan ataupun adik kelas, maka kami akan menjenguk bersama. Berusaha menghibur dan mendoakannya, bahkan kami membawa oleh-oleh sekedarnya. 

Kenangan lain yang paling diingat itu, ketika kelas 3 Aliyah sudah tidak wajib untuk ikut lari pagi hari Jum'at, kami masih lari pagi bersama dengan santai. Bersenda gurau bersama, menciptakan suasana yang gemuruh di dada jika diingat saat ini. Mengharu biru. 

Dalam perjalan pulang lari pagi, kami akan melihat-lihat tanaman yang membuat kita tertarik. Kadang kami juga izin meminta tanaman itu, untuk kami tanam di dekat selokan depan lapangan basket dan depan Baitun Nisa waktu itu. Selain itu, pernah juga kami mendapatkan biji timun suri dan tomat, yang kemudian kami bisa menanamnya di sana sampai berbuah dan bisa dipetik bersama-sama. Sehingga kami bisa piknik ala-ala di dekat selokan itu. Membawa bekal, kemudian duduk melingkar bercengkrama.

Saya belajar dari kehidupan ketika di pondok, apapun bisa kita nikmati dengan bahagia. Asalkan bisa melihat dari kacamata mata mana kita melihat. Memang awal-awal harus ada Allahumma Paksakeun, untuk kemudian kita bisa menikmati semuanya dengan hati riang.

Dulu saya berat rasanya untuk pergi ke pondok lagi setelah liburan, kini setelah 6 tahun bersama meniti titian yang tak mudah, akhirnya harus merasakan berat juga untuk berpisah.

Semua tentang pondok itu, ngangenin tiada duanya. Hari ini, jika kita tak bisa menikmati keadaan itu. Yakinkan diri, bahwa semua adalah yang terbaik yang Allah pilihkan untuk kita. Jangan menyerah menaklukan awal bulan yang tak dianggap sulit, karena kalau menyerah artinya tidak akan ada kisah.

Kehidupan di pondok dengan ritmenya yang membuat saya ngos-ngosan di awal, hingga menjadi habit yang sampai ini masih menjadi habit terbaik yang pernah saya alami. 

Terima kasih untuk para Ustadz dan Ustadzah yang telah mengajarkan saya banyak hal. Semoga Allah membalasnya dengan pahala yang terus mengalir. Dan ilmunya menjadi bermanfaat untuk saya.

2 komentar:

  1. Masyaallah membacanya jadi seperti merasakan sendiri belajar di pondok. Btw sekarang apa masih pada nyuci sendiri Mbak? Sepupu aku brlajar di pondok tapi ada jasa laundry dll. Vita mamanesia.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak, sekarang mah udah beda zaman ya. Di Husnul Khotimah juga sekarang udah di laundry in mbak. Karena kan semakin banyak santrinya ya. Jadi harus hemat tempat. ☺

      Hapus